Minggu, 03 Maret 2013

Pesona Magis Ullen Sentalu #2


Blog kali ini, saya ingin melanjutkan cerita kunjungan saya ke Museum Ullen Sentalu di Yogyakarta.
Berikut cerita lengkapnya perjalanan saya di dalam museum.


Begitu masuk, saya merasakan nuansa yang jauh berbeda dari ruangan pertama. Saya melewati jalan setapak yang sempit, rindang, dan berbentuk seperti labirin. Pemandu mengantar saya dan rombongan ke ruangan pertama, yaitu Guwo Selo Giri yang artinya "Gua berdinding batu gunung" (yang diambil dari Gunung Merapi). Dengan pencahayaan yang temaram, lorong ini memancarkan nuansa gothik yang kental. Kesannya sungguh magis. Menakjubkan!

Suasana di dalam Guwo Selo Giri

Arca Dewi Sri
Dalam ruangan bawah tanah yang berbentuk lorong ini, saya bisa melihat beberapa foto kota Yogyakarta tempo dulu dan beberapa foto penari-penari kraton yang sedang beraksi. Jangan salah, meskipun ada karakter wanita, tidak satupun dari penari-penari dalam foto lama itu adalah wanita, karena pada jaman dahulu wanita tidak diperkenankan menari untuk umum. Jadi untuk menggantikan perannya adalah pemuda yang berbadan ramping dan luwes seperti layaknya puteri keraton.
Gamelan hadiah dari Kesultanan Yogyakarta.
Di ruangan ini saya dan rombongan mulai diperkenalkan dengan beberapa karakter putri keraton yang menonjol, seperti BRAy. Partini Djayadiningrat (nenek dari sutradara video klip Dimas Djayadiningrat) yang mengarang buku “Ande-Ande Lumut” dan diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka dengan nama samaran Antipurbani. Di ruangan luas ini juga terdapat seperangkat gamelan yang merupakan hadiah dari Kesultanan Yogyakarta. Terdapat juga beberapa foto hasil jepretan tukang foto keluarga keraton pada masa Sultan HB VII yang bernama Kasian Cephas. Beberapa fotonya menggambarkan wanita dengan pose yang dianggap berani pada masa itu, yaitu foto yang berjudul “Denok”, menggambarkan wanita kalangan rakyat biasa berpose di atas dipan sederhana dengan kain yang menutupi bagian dada sampai ke lutut saja. Dianggap pose yang berani karena pada jaman dahulu wanita dilarang keras menaikkan kain melebihi 3 cm dari mata kakinya.
Selain itu, kami dikenalkan juga kepada wanita keraton yang pada jaman itu sudah mahir mendesain pakaian dan aksesoris, yaitu Retno Puwoso, istri dari Paku Alam VII yang merupakan putri dari Paku Buwono X. Dalam salah satu lukisan, digambarkan Retno Puwoso mengenakan baju kebaya dan kipas bulu yang dikalungkan di leher sampai menjuntai sampai ke mata kaki, dimana bentuk kipas yang ‘tidak lazim’ itu di-desain sendiri olehnya. Lukisan lain menunjukkan potret diri Retno Puwoso beserta suaminya yang pada saat itu sudah memakai ‘dasi’ yang dikenakan dengan baju kebesarannya. Lagi-lagi dasi tersebut merupakan desainnya sendiri.
Di ruangan ini juga berjejer lukisan dan foto para tokoh dari 4 keraton Kerajaan Mataram. Masing-masing lukisan dan foto punya cerita sendiri, salah satunya adalah lukisan 3 dimensi. Mata wanita di lukisan ini akan mengikuti langkah Anda ke mana pun Anda melangkah!
Kita juga dapat melihat foto diri Pakubuwono (PB) X beserta permaisuri yang merupakan putri dari Sultan Yogyakarta. Sesungguhnya, PB X sudah memiliki permaisuri dan puluhan selir. Namun karena tidak memiliki anak dari permaisurinya, maka beliau mengambil permaisuri lagi di tahun 1915. Di jaman pemerintahan PB X, kota Solo diceritakan mencapai puncak kejayaan. Hal itu ditandai dengan dibangunnya banyak pesanggrahan (Tegalgondo, Pengging, Banyubiru dan Ampel) atau Pasar Gede Harjonagoro.   

Pakubuwono (PB) X beserta permaisuri















 
 Setelah dari Guwo Selo Giri, kami dibawa ke Kampung Kambang yang terdiri dari beberapa ruangan yang dibangun di atas kolam besar. Perpindahan dari satu ruangan ke ruangan lain memberi kesan kami sedang berjalan di atas permukaan air.  
Ruang Syair untuk Tineke
Ruang pertama dari Kampung Kambang adalah Balai Sekar Kedaton yang dipersembahkan untuk GRAj. Koes Sapariyam yang lebih akrab disapa Tineke. Di sini terdapat kumpulan syair yang ditulis untuk Tineke, putri Sunan Surakarta yaitu Pakubuwono XI. Dahulu Tineke sempat memiliki kisah cinta yang tidak direstui. Dan ruangan ini menjadi saksi bisu betapa kawan-kawan Tineke selalu memberikan dukungan kepadanya melalui surat-surat, yang dikirimkan dalam kurun waktu 1939-1947. Isi surat ini cenderung ke bentuk syair puisi. Syair-syair ini ditulis oleh para kerabat dan teman-teman Tineke untuk menggambarkan kecintaan putri Tineke terhadap sang pangeran. Seluruh surat itu masih dalam kondisi yang baik, sehingga anda tidak akan menemui kesulitan untuk membacanya. Surat ini juga sudah ada salinan dan terjemahan ke beberapa bahasa. Umumnya, semua surat dilampiri dengan foto si pengirim dan isi suratnya. Lalu bagaimana kelanjutan kisah Tineke dan sang pujaan hati? Mereka menikah 10 tahun kemudian. Akhir yang bahagia dari sebuah cerita.

Batik panjang dari Keraton Yogyakarta
Lukisan mempelai wanita












Ruang kedua dari Kampung Kambang adalah Ruang Paes Ageng Yogyakarta. Ruangan ini berisi lukisan-lukisan yang menggambarkan pengantin dari Kasultanan Yogyakarta, lengkap dengan aksesori pendukung yang menunjukkan kemegahan dari prosesi pernikahan itu sendiri. Selain menikmati beberapa lukisan, pemandu menerangkan kepada kami tentang filosofi dari aksesori yang dikenakan oleh pengantin wanita, mulai dari hiasan kepala sampai kepada aksesori lainnya. Lagi-lagi semuanya sarat dengan filosofi Jawa, seperti jumlah bunga hiasan di kepala yang berjumlah 5 sesuai dengan Rukun Islam, bunga melati yang digantungkan di pinggang sebagai tanda kesuburan dan cepat memiliki keturunan dan lain-lain.
Ruang ketiga dari Kampung Kambang adalah Ruang Batik Vorstendlanden, yang memamerkan koleksi batik dari Kasultanan Yogyakarta (pada masa Sultan HB VII-IX) dan Surakarta (pada masa PB X-XII). Dahulu kain batik tidak diperkenankan untuk dipakai rakyat biasa, tetapi pa da masa Sultan HB IX beliau memperbolehkan rakyat biasa ikut mengenakan batik. Pemandu juga memberitahukan kepada kami makna filosofis di balik motif-motif batik yang dikenal sekarang. Mengingat pada jaman dahulu, pembuat batik harus berpuasa dan menunggu wangsit sebelum dapat menemukan motif dan mulai membatik. 

Koleksi batik Yogyakarta dan Surakarta

Beberapa koleksi batik yang dipamerkan misalnya batik motif Grinsing Mino yang konon bisa digunakan untuk menolak ilmu hitam, batik Sido Luhur, Sido Mulyo, Sido Drajad dan Sido Asih yang menunjukkan kesetiaan seorang istri. Selain itu kami diberitahu oleh pemandu untuk tidak mengenakan batik motif Parang untuk acara lamaran, pertunangan atau pernikahan. Dikarenakan motif Parang adalah jenis batik yang umumnya digunakan untuk peperangan, sehingga mengenakannya di acara pernikahan konon akan membuat pernikahan dipenuhi dengan pertengkaran dan permusuhan. Ada lagi batik motif Truntum yang tidak boleh dikenakan untuk menutup tubuh jenazah, karena konon apalagi batik motif Truntum tetap dikenakan maka jenazah akan terus menghantui. Batik di ruangan ini memiliki warna yang lembut dan cenderung tidak cerah, seperti warna kecokelatan.
To be continue...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar