Berikut cerita lengkapnya perjalanan saya di dalam museum.
Begitu
masuk, saya merasakan nuansa yang jauh berbeda dari ruangan pertama. Saya
melewati jalan setapak yang sempit, rindang, dan berbentuk seperti
labirin. Pemandu mengantar saya dan rombongan ke ruangan pertama, yaitu Guwo
Selo Giri yang artinya "Gua berdinding batu gunung" (yang
diambil dari Gunung Merapi). Dengan pencahayaan yang temaram, lorong ini
memancarkan nuansa gothik yang kental. Kesannya sungguh magis. Menakjubkan!
![]() |
Suasana di dalam Guwo Selo Giri |
![]() |
Arca Dewi Sri |
Dalam
ruangan bawah tanah yang berbentuk lorong ini, saya bisa melihat beberapa foto
kota Yogyakarta tempo dulu dan beberapa foto penari-penari kraton yang sedang
beraksi. Jangan salah, meskipun ada karakter wanita, tidak satupun dari
penari-penari dalam foto lama itu adalah wanita, karena pada jaman dahulu
wanita tidak diperkenankan menari untuk umum. Jadi untuk menggantikan perannya
adalah pemuda yang berbadan ramping dan luwes seperti layaknya puteri keraton.
![]() |
Gamelan hadiah dari Kesultanan Yogyakarta. |
Di
ruangan ini saya dan rombongan mulai diperkenalkan dengan beberapa karakter
putri keraton yang menonjol, seperti BRAy. Partini Djayadiningrat (nenek dari
sutradara video klip Dimas Djayadiningrat) yang mengarang buku “Ande-Ande
Lumut” dan diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka dengan nama samaran
Antipurbani. Di ruangan luas ini juga terdapat seperangkat gamelan yang
merupakan hadiah dari Kesultanan Yogyakarta. Terdapat juga beberapa foto hasil
jepretan tukang foto keluarga keraton pada masa Sultan HB VII yang bernama
Kasian Cephas. Beberapa fotonya menggambarkan wanita dengan pose yang dianggap
berani pada masa itu, yaitu foto yang berjudul “Denok”, menggambarkan wanita
kalangan rakyat biasa berpose di atas dipan sederhana dengan kain yang menutupi
bagian dada sampai ke lutut saja. Dianggap pose yang berani karena pada jaman
dahulu wanita dilarang keras menaikkan kain melebihi 3 cm dari mata kakinya.
Selain
itu, kami dikenalkan juga kepada wanita keraton yang pada jaman itu sudah mahir
mendesain pakaian dan aksesoris, yaitu Retno Puwoso, istri dari Paku Alam VII
yang merupakan putri dari Paku Buwono X. Dalam salah satu lukisan, digambarkan
Retno Puwoso mengenakan baju kebaya dan kipas bulu yang dikalungkan di leher
sampai menjuntai sampai ke mata kaki, dimana bentuk kipas yang ‘tidak lazim’ itu
di-desain sendiri olehnya. Lukisan lain menunjukkan potret diri Retno Puwoso
beserta suaminya yang pada saat itu sudah memakai ‘dasi’ yang dikenakan dengan
baju kebesarannya. Lagi-lagi dasi tersebut merupakan desainnya sendiri.
Di ruangan ini juga berjejer lukisan dan foto para tokoh dari 4 keraton Kerajaan Mataram. Masing-masing lukisan dan foto punya cerita sendiri, salah satunya adalah lukisan 3 dimensi. Mata wanita di lukisan ini akan mengikuti langkah Anda ke mana pun Anda melangkah!
Di ruangan ini juga berjejer lukisan dan foto para tokoh dari 4 keraton Kerajaan Mataram. Masing-masing lukisan dan foto punya cerita sendiri, salah satunya adalah lukisan 3 dimensi. Mata wanita di lukisan ini akan mengikuti langkah Anda ke mana pun Anda melangkah!
Kita
juga dapat melihat foto diri Pakubuwono (PB) X beserta permaisuri yang
merupakan putri dari Sultan Yogyakarta. Sesungguhnya, PB X sudah memiliki
permaisuri dan puluhan selir. Namun karena tidak memiliki anak dari
permaisurinya, maka beliau mengambil permaisuri lagi di tahun 1915. Di jaman
pemerintahan PB X, kota Solo diceritakan mencapai puncak kejayaan. Hal
itu ditandai dengan dibangunnya banyak pesanggrahan (Tegalgondo, Pengging,
Banyubiru dan Ampel) atau Pasar Gede Harjonagoro.
![]() |
Pakubuwono (PB) X beserta permaisuri |

Setelah dari Guwo Selo Giri, kami dibawa ke Kampung Kambang yang terdiri dari beberapa ruangan yang dibangun di atas kolam besar. Perpindahan dari satu ruangan ke ruangan lain memberi kesan kami sedang berjalan di atas permukaan air.
![]() |
Ruang Syair untuk Tineke |
Ruang pertama dari Kampung
Kambang adalah Balai Sekar Kedaton yang dipersembahkan untuk GRAj. Koes
Sapariyam yang lebih akrab disapa Tineke. Di sini terdapat kumpulan syair yang
ditulis untuk Tineke, putri Sunan Surakarta yaitu Pakubuwono XI. Dahulu Tineke
sempat memiliki kisah cinta yang tidak direstui. Dan ruangan ini menjadi saksi
bisu betapa kawan-kawan Tineke selalu memberikan dukungan kepadanya melalui
surat-surat, yang dikirimkan dalam kurun waktu 1939-1947. Isi surat ini
cenderung ke bentuk syair puisi. Syair-syair ini ditulis oleh para kerabat dan
teman-teman Tineke untuk menggambarkan kecintaan putri Tineke terhadap sang
pangeran. Seluruh surat itu masih dalam kondisi yang baik, sehingga anda tidak
akan menemui kesulitan untuk membacanya. Surat ini juga sudah ada salinan dan
terjemahan ke beberapa bahasa. Umumnya, semua surat dilampiri dengan foto si
pengirim dan isi suratnya. Lalu bagaimana kelanjutan kisah Tineke dan sang
pujaan hati? Mereka menikah 10 tahun kemudian. Akhir yang bahagia dari sebuah
cerita.
![]() |
Batik panjang dari Keraton Yogyakarta |
![]() |
Lukisan mempelai wanita |
Ruang kedua dari Kampung Kambang
adalah Ruang Paes Ageng Yogyakarta. Ruangan ini berisi lukisan-lukisan yang
menggambarkan pengantin dari Kasultanan Yogyakarta, lengkap dengan aksesori
pendukung yang menunjukkan kemegahan dari prosesi pernikahan itu sendiri.
Selain menikmati beberapa lukisan, pemandu menerangkan kepada kami tentang
filosofi dari aksesori yang dikenakan oleh pengantin wanita, mulai dari hiasan
kepala sampai kepada aksesori lainnya. Lagi-lagi semuanya sarat dengan filosofi
Jawa, seperti jumlah bunga hiasan di kepala yang berjumlah 5 sesuai dengan
Rukun Islam, bunga melati yang digantungkan di pinggang sebagai tanda kesuburan
dan cepat memiliki keturunan dan lain-lain.
Ruang
ketiga dari Kampung Kambang adalah Ruang Batik Vorstendlanden, yang memamerkan
koleksi batik dari Kasultanan Yogyakarta (pada masa Sultan HB VII-IX) dan
Surakarta (pada masa PB X-XII). Dahulu kain batik tidak diperkenankan untuk
dipakai rakyat biasa, tetapi pa da masa Sultan HB IX beliau memperbolehkan
rakyat biasa ikut mengenakan batik. Pemandu juga memberitahukan kepada kami
makna filosofis di balik motif-motif batik yang dikenal sekarang. Mengingat
pada jaman dahulu, pembuat batik harus berpuasa dan menunggu wangsit sebelum
dapat menemukan motif dan mulai membatik. Koleksi batik Yogyakarta dan Surakarta |
To be continue...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar